Menjelang senja di sebuah bangunan setengah jadi yang masih menyisahkan bau semen sisa pemasangan keramik. Aku sedang berkeliling mengamati hasil kerja para tukang bangunan. Ditingkahi kelebatan-kelebatan momen bersama belahan jiwa, momen yang belum begitu lama berlalu, saat segalanya masih indah dan penuh asa, saat kami berbagi imajinasi tentang bangunan itu. Sesak tiba-tiba menelusup di hatiku dan butiran-butiran bening berusaha melesak dari kedua mataku.
“Sampean harus bisa melihat ke depan, nduk. Ojo terpaku kebelakang” Kata lelaki tua yang kupanggil Ayah seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hati dan pikiranku.
“Sampean harus bisa menerima takdir, ancene cuman semono jodoh sampean” lanjut Ayah.
“Sampean harus bersyukur karena sampean masih punya penghasilan sendiri. Akeh wong wedhok ditinggal mati bojone gak duwe penghasilan. Iku sing kudu sampean syukuri” kata Ayah lagi
“Inggih, Yah” jawabku sambil masih membelakangi Ayah seolah-olah memeriksa bangunan. Padahal aku sedang menyembunyikan manik air mataku dari pandangan Ayah. Tak tega menampakkan duka ini padanya walau aku yakin Ayah pasti bisa merasakan dukaku.
Hatiku makin nelangsa mendengar kata-kata Ayah. Ayah adalah sosok yang tidak banyak bicara. Seperti halnya budaya yang masih berlaku pada sebagian orang Jawa, ada hirarki tak tertulis mengenai hubungan ayah dan anak yang menyebabkan keduanya tidak bisa akrab. Begitu juga hubunganku dengan Ayah walau kasih sayang Ayah kepadaku sangat besar. Kami tidak terbiasa ngobrol santai. Apa yang terucap dari Ayah hanyalah hal-hal yang sangat penting, baginya dan bagi lawan bicaranya. Selebihnya kami hanya saling diam.
Senja makin mendekat. Matahari sudah hendak kembali ke peraduannya yang berhiaskan kelambu jingga. Aku dan Ayah meninggalkan bangunan itu dalam diam.
Dian Widyaningtyas
Tender Loving Care
Selesai Isya’, May 9th, 2013
Titip rindu buat Ayahku tercinta. Semoga segera sembuh. Amin…
Posted from WordPress for BlackBerry.