A Simple Live Music Show

live music

Lir ilir..lir ilir

tanduri wes sumilir

tak ijo royo-royo tak senggu temanten anyar…

Continue reading

Blass, Pak !!

Smada Jombang

Usianya sekitar 50-an, badannya tambun, dan selalu memakai baju safari. Dengan menenteng tas kerja dia berjalan ke kelasku. Kemudian dia duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Letaknya kebetulan berhadapan dengan meja kursiku. Ya..aku selalu memilih duduk di deretan depan karena malas memakai kacamata minusku. Dia adalah salah satu guru agama di kelasku. Aku tidak tahu kenapa sekolah memberi kami dua guru untuk satu bidang studi. Kebetulan dua orang ini dari “aliran” yang berbeda. Yang satu Nahdliyin, dan satunya lagi Muhammadiyah. Orangnya lucu. Sesekali dia menyentil Nadliyin, padahal di kelasku ada beberapa teman yang mondok di pesantren Nadliyin. Misalnya dia menyentil masalah kendurian memperingati sekian hari orang yang meninggal dan sebagainya yang disampaikannya secara santai dan sedikit jenaka.

Sejurus kemudian, dia membetulkan letak kacamatanya. Lalu dia keluarkan sebuah buku tipis yang sudah kumal dari saku bajunya. Tampaknya buku itu dilipat jadi dua agar bisa masuk dalam saku baju. Satu persatu dia panggil nama kami. Ini adalah kegiatan rutin yang dia lakukan sebelum mulai masuk ke materi. Dia mengabsen berapa rekaat tahajud dan witir yang sudah kami lakukan semalam. Ini bisa menjadi nilai tambah buat kami. Awalnya aku semangat sekali sholat tahajud dan witir kalau besoknya ada pelajaran agama dan jadwalnya dia yang mengajar. Tapi malam sebelumnya aku jadi sulit meluruskan niat, apakah sholatku karena dia atau lillahi ta’ala. Jadi kuputuskan untuk tidak sholat tahajud dan witir. Bagi kami yang perempuan, jika tidak melakukan sholat tahajud dan witir ada dua kemungkinan; yaitu berhalangan atau malas.

Akhirnya tiba giliranku dipanggil. Menjawab sedang halangan jelas nggak mungkin karena memang aku tidak sedang berhalangan. Itu kan bohong namanya. Akhirnya aku ikuti kebisaan teman-teman jika lagi bolong nggak sholat tahajud dan witir.

“Blass, Pak!!” Jawabku lantang.

“Yo ngunu..enek peningkatan. Sakiki wes iso sewelas rokaat” katanya sambil menulis sesuatu di buku catatannya.

Gubrakssss….!!! Kami biasanya hanya cekikikan saja. Sak karep, Pak. Pokoke aku ora mbujuk loh yaaaa….

Padahal dia sedang membiasakan kami untuk sholat tahajud dan witir dengan rutin. Satu malam yang dia absen itu hanyalah sebuah pancingan saja untuk membiasakan kami sholat tahajud dan witir di malam-malam lainnya. Dan jujur saja karena perintah dia lah aku jadi “terpaksa” sholat tahajud dan witir. Itu adalah tahajud dan witirku yang pertama. Sebuah keterpaksaan yang akhirnya aku syukuri karena lama-lama aku menemukan ketenangan di dalamnya. Memang begitu adanya, bahwa terkadang kebiasaan baik itu perlu dipaksakan.

Tahajud yuk…!!

***

Dian Widyaningtyas

Tender, love, and care

Lonely night……..Early Monday, December 30

Sulung Ingin I’tikaf

i'ktikaf

“Mama, Malam ini Kakak ingin i’tikaf di masjid” katamu begitu sampai di rumah seusai sholat Isya. Sesaat, Mama yang belum bisa sepenuhnya menangkap maksudmu hanya bisa memandangi wajah tampanmu dan mencoba mencari jawabnya di sana.

“I’tikaf? Malam ini? Ada apa di masjid? Ngapain saja di sana nanti?” Pertanyaan beruntun Mama tampaknya membuatmu kurang suka. Maafkan Mama, Sayang. Mendengar istilah i’tikaf, pikiran Mama langsung teringat dengan bulan Ramadhan sedangkan saat ini bukan bulan Ramadhan, lantas kenapa ada i’tikaf? Hihihihi kuper banget ya Mama…

“Di Masjid sedang ada JT, Ma. Tadi siang datangnya. Kakak pengen i’tikaf sama mereka” Jawabmu yang akhirnya membuat Mama mahfum.

Ya…Mama perhatikan setiap kali mereka mendatangi masjid komplek perumahan kita, kau begitu antusias untuk berada diantara mereka. Ini terjadi sejak Abahmu tidak lagi membersamai kita. Mama tahu, rasa kangen kepada Abahlah yang membuatmu ingin berada diantara mereka karena Abah dulu juga pernah aktif di organisasi tersebut. Mungkin berada di dekat mereka membuatmu merasa dekat dengan Abahmu. Mama masih ingat ketika pertama kali kau berinteraksi dengan mereka, kau lalu mencari-cari jubah dan sorban Abah yang Mama simpan. Kau mencoba memakai sorban itu. Ah….Tak sanggup Mama melihatnya waktu itu, entah kenapa. Rasanya kau terpaksa menjadi dewasa sejak Abah nggak ada.

“Mama antar ke masjid yuk. Mama ingin nitipin Kakak ke ketua rombongannya” Melihat matamu yang berbinar-binar setiap kali menceritakan kedatangan mereka ke masjid komplek perumahan kita membuat Mama tidak kuasa menolak permintaanmu. Mukamu yang tadi murung tiba-tiba cerah kembali.

Sesampainya di masid ternyata sudah menunggu beberapa temanmu disana. Teman-teman yang sering kau jemput satu persatu agar mereka mau sholat jamaah di masjid. Rupanya kau berhasil pula mengajak mereka untuk i’tikaf malam ini. Mama bangga kepadamu, Sayang. Kerena kau mengajak teman-temanmu berbuat kebaikan, walau kadang pikiranmu tidak sejalan dengan pikiran Mama. Kadang Mama berpikir “ngapain sih sholat di masjid pake dijemput segala? repot amat”. Mama harusnya bersyukur punya anak seperti kamu, yang ingin berbuat baik tanpa menimbang untung rugi, repot nggak repot dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Mama bangga padamu, Sayang. Sungguh…

Akhirnya Mama harus merelakan kau i’tikaf di masjid malam ini. Mungkin Mama akan merelakan kau lebih banyak bersama mereka jika itu yang kau inginkan, agar terbentuk karakter positif pada dirimu, seperti halnya Abahmu dulu. Lebih dari itu, tak sanggup Mama melihat kerinduanmu kepada Abah. Tahukah kau, Sayang…kerinduanmu itu mengoyak perasaan Mama karena Mama tak pernah sanggup mengobatinya. Apapun yang Mama lakukan, tak akan pernah bisa menggantikan sosok Abah dalam hidupmu. Merelakanmu “menapak tilas” sebagian masa lalu Abahmu agar kau merasa dekat dengannya, itulah yang bisa Mama berikan untuk mengobati kerinduanmu itu.

***

Dian Widyaningtyas

Tender, love, and Care

Awal tanggal 28 Desember 2013, diantara buliran bening yang tak sanggup kutahan…

Foto diambil dari sini