Khadimat

Dulu di rumah mbahku ada seorang wanita paro baya dengan dua anaknya, yang sulung perempuan dan yang bungsu lelaki. Aku masih ingat betul nama-nama mereka, tapi tak usahlah kusebut di sini. Bahkan aku masih ingat betul beberapa momen kebersamaan kami. Waktu itu ayah ibu masih tinggal serumah sama mbah, begitu juga dengan wanita dan anak-anaknya itu. Mereka tinggal di bagian belakang rumah mbah yang memang sangat besar. Aku tidak pernah melihat suami wanita itu. Mungkin dia single parent seperti diriku saat ini. Mbah menyebut dia sebagai batur. Waktu itu aku belum paham arti batur, tapi kalau dilihat dari arti kata “dibaturi” yang berarti ditemani, aku menyimpulkan bahwa mereka adalah teman. Teman untuk mbah putri ketika beraktifitas di dapur. Teman mbah putri untuk ngobrol-ngobrol ketika rumah sebesar itu sepi karena ditinggal mbah kakung kerja dan anak-anaknya sekolah. Sedangkan anak-anak wanita itu menjadi teman bermain om-om dan tante-tanteku. Aku tidak ingat waktu itu apakah mereka sekolah atau tidak. Ketika aku mulai bisa jalan, anak-anak wanita itu bertugas untuk momong aku. Walau mbah putri dan ibuku tidak bekerja, tapi mbah kakung selalu menyediakan batur untuk keluarganya. Di kemudian hari ketika mbah sudah bisa merelakan ayah dan keluarga kecilnya ngontrak rumah sendiri pun, ayah selalu menyediakan batur untuk ibu walo ibuku tidak bekerja dan sangat banyak waktu untuk mengurusi rumah dan anaknya. Mungkin karena kultur di keluarga ayahku seperti itu.

Continue reading