Aisyah adalah anakku yang nomor tiga. Aku memberinya nama Aisyah dengan harapan dia secerdas dan selincah Bunda Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Tahun ini umurnya akan genap delapan tahun. Dibandingkan saudara-saudaranya, Aisyah memang lain. Dia lebih ekspresif. Dia yang selalu memberiku surat-surat pendek bertuliskan “I love you, Mom”, “Mama cantik deh”, “Aku sayang Mama” dan sebagainya yang biasanya dia selipkan diantara meja rias yang berada di kamarku. Atau surat pendek yang berisi “pengakuan dosa” maupun komplain yang bertuliskan “Mama tadi HP mama yang dibawa Kakak Ais ke sekolah dirampas ustadzah”, “Kakak Ais benci Mama”, “Mama nanti malam temani Kakak Ais tidur ya” dan sebagainya yang biasanya dia serahkan ke aku langsung untuk memastikan aku membacanya. Ah…surat-suratnya mampu membuat rasa penatku sepulang kerja tiba-tiba menguap entah kemana, apapun isi suratnya. Aku suka pembawaannya yang ekspresif itu.
Tapi akhir-akhir ini pembawaannya yang ekspresif kunilai terlalu berlebihan. Dia gampang sekali marah jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannnya. Pernah suatu ketika kami berniat untuk jalan ke mall. Selesai mandi dia memintaku untuk mengambilkan baju. Pilihanku jatuh pada gamis berbahan katun karena menurutku itu akan lebih membuatnya nyaman disaat siang yang terik dibanding jika dia memakai celana berbahan jeans. Ternyata dia sedang tidak ingin memakai gamis dan tetap ingin memakai celana jeans, sedangkan celana jeansnya entah dimana keberadaannya. Karena ada hal lain yang harus kukerjakan, akhirnya aku tinggalkan dia di kamarnya. Saat aku kembali ke kamarnya…Allah…kamarnya begitu berantakan. Baju-baju berserakan dimana-mana. Sedangkan dia masih menangis sesenggukan di atas kasurnya. Rupanya dia ngamuk selama aku tinggal beraktifitas di dapur tadi. Begitu melihatku, tangisnya mulai meninggi dan dia bersiap membuang benda-benda lain yang ada di dekatnya. Aku sedikit terpancing emosi juga. Akhirnya kuputuskan untuk menenangkan diri di kamar lain. Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan membaca-baca. Tapi pikiranku tidak bisa lepas memikirkan ekspresi Aisyah yang menurutku berlebihan.
Maafkan Mama, sayang. Bukannya Mama tidak perhatian dan tidak sayang sama Aisyah. Tapi Mama juga perlu menenangkan diri menghadapi ekspresimu yang mengagetkan Mama, agar Mama tidak terpancing emosi. Walau Aisyah anak yang ekspresif tapi tidak pernah dia menunjukkan reaksi marah seperti itu. Itulah kenapa aku berusaha merunut ke belakang apa yang membuatnya seperti itu. Setelah aku bisa menenangkan diri, aku kembali ke kamarnya. Aku dapati dia sedang tertidur tak beraturan diatas ranjangnya. Dia terbangun saat aku masuk kamarnya. Lalu aku menuju ke kulkas. Aku ingin membuatkannya segelas susu kental manis dingin. Pasti dia capek setelah beberapa saat ngamuk kesetanan. Hm…rupanya dia mengikutiku dari belakang. Waktu kutawarkan segelas susu itu, dia mengangguk. Dia habiskan segelas susu kental manis dingin tersebut. Setelah itu kuajak dia duduk di sofa ruang tengah. Kusisir rambutnya sambil kuajak ngobrol.
“Kakak Ais kenapa marah-marah?” Tanyaku lembut sambil menyisir rambutnya.
“Mama sih….” dia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Mama kenapa, Sayang?” Tanyaku lagi.
“Mama nyuruh Kakak Ais pake gamis tapi Kakak Ais pengen pake celana jeans”
“Kakak Ais nggak perlu marah-marah seperti itu kan? Capek nggak marah-marah seperti itu? Kamar yang berantakan gitu enak nggak dilihat?” Dia tidak menjawab. Selesai kusisir dan kukuncir rapi, dia sudah ceria kembali sambil mematut-matut didepan cermin. Rencana ngemall hari itu terpaksa batal karena insiden tantrum Aisyah.
Menurut Wikipedia istilah Tantrum atau lebih sering disebut Temper Tantrum diartikan sebagai emotional outbreak, usually associated with children or those in emotional distress, that is typically characterized by stubbornnerss, crying, screaming, defiance, angry ranting, a resistance to attempts at pacification and, in some cases, hitting. Physical control may be lost, the person may be unable to remain still, and even if the “goal” of the person is met he or she may not be calmed. A tantrum may be expressed in a tirade: a protracted, angry, or violent speech. Pada dasarnya Aisyah sedang tidak bisa mengendalikan emosinya dan frustasi dengan sesuatu yang menimpahnya. Yang diperlukan adalah kesabaran dan reaksi yang konsisten atas tantrumnya tersebut. Lambat laun tantrumnya akan berkurang, dan saat dia semakin besar, dia akan lebih bisa mengendalikan emosinya.
Beberapa hari kemudian, Aisyah mengalami tantrum lagi. Kali ini yang menjadi korban adalah kamarku. Dia cabut seprei yang membalut ranjangku, dia buang semua bantal dan guling ke lantai. Dia juga membuang semua kosmetik di meja riasku. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku sudah bisa menghadapinya dengan tenang. Kali ini penyebabnya adalah karena dia berantem sama adiknya. Gara-gara dia meminta tolong adiknya buat ngambilin baju dan baju yang diambilin adiknya tidak cocok di hatinya. Dia pindah ke kamarnya dan ngamuk lagi disana. Saat itu aku sedang berkirim pesan via whatsapp dengan seseorang dan berniat pamit untuk menenangkan Aisyah.
“What happens?” Tanyannya.
“Aisyah, She gets angry. She’s tantrum” Jawabku.
“Hug her, dear” Katanya.
“But she’s still angry. I ussually hug her when she’s calm” Kami mulai berdebat.
“No dear, You should calm her now. Hug her. Show her that you love her” Katanya lagi.
Akhirnya kuputuskan untuk menuruti sarannya. Kuberi isyarat kepada Aisyah agar dia duduk didekatku. Setelah dia duduk di dekatku, kupeluk dia. Kusandarkan tubuhnya ke dadaku. Tubuhnya yang masih berbalut handuk terasa dingin karena keringat yang keluar saat dia ngamuk tadi. Lalu seperti sebelumnya, aku ajak dia ngobrol-ngobrol. Aku tanyakan kenapa dia marah-marah.
“Dek Ozan nggak mau ngambilin baju buat Kakak Ais. PAdahal tadi dek Ozan sudah Kakak Ais ambilin baju” Jawabnya pelan
“Tadi Kakak Ais ngambilin baju buat dek Ozan, dek Ozan mau pake. Tapi pas Kakak Ais diambilin baju sama dek Ozan, Kakak Ais nggak mau pake baju pilihan dek Ozan” Aku mencoba meluruskan duduk permasalahannya pada Aisyah.
“Kalau Kakak Ais nggak suka baju pilihan dek Ozan ya sudah ambil aja sendiri, pilih sendiri. Nggak perlu marah-marah begitu” Lanjutku.
Akhirnya Aisyah mulai tenang. Mungkin karena pelukanku yang membuatnya tenang. Atau memang dia sudah capek dengan tantrumnya. Tiba-tiba ada pesan masuk di whatsapp.
“How’s Aishah?” Tanyanya.
“She’s calm now” Jawabku.
“That’s good. Whenever She’s tantrum just hug her, dear. She needs that” Katanya.
Hm….ya…ya… She needs that hug. Mungkin memang pelukan itu yang bisa menenangkan gemuruh di hati Aisyah. I’ll hug you, my little princess Aisyah.
***
Dian Widyaningtyas
Tender Loving Care
Sunny day at the office, May 13th 2014
Gambar diambil dari sini
energi pelukan emang ampuh
hoo, ternyata namanya tantrum. saya hampir mirip dek aisyah mbak, pengennya banting banting, buang-buang, acak- acak kalau lagi marah. 😀
harus memahami secara approachment yaa mak…karena anak sodaraa n tetangga kebetulan tantrum juga.
Pelukan juga menjadi senjata saya saat Ihsan tantrum. 🙂
iya mbak. Klo udah dipeluk biasanya gemuruh hatinya langsung reda