Kamera Berdarah

Aku bergegas memasuki bangunan megah bergaya Victoria yang terletak di sebuah kawasan hunian mewah. Letaknya yang berada di hook membuatku tak kesulitan untuk menemukan rumah seorang fotografer kondang yang sering kulihat karya-karyanya tapi belum pernah kujumpai ataupun kulihat orangnya. Karena penasaran maka aku mengajukan diri untuk menjemput sang fotografer ketika sepupuku yang siang ini hendak melangsungkan resepsi pernikahan memintaku untuk menyuruh sopirnya menjemput sang fotografer di rumahnya.

“Kamu yakin?” Tanya sepupuku ragu.

“Dia akan merasa lebih dihargai jika yang menjemputnya adalah keluarga mempelai” Begitu alasan yang kuajukan padanya. Saudaraku mengangguk sambil tersenyum. Dia tak punya waktu untuk berdebat denganku.

Pandanganku tertuju pada pilar-pilar tinggi berwarna putih yang bertumpu pada beberapa anak tangga ketika aku melewati teras rumah besar itu. Kuperkirakan kedua tanganku ini tak akan cukup memeluk pilar-pilar tersebut. Tentu saja aku tak perlu membuktikannya kalau tidak mau dianggap konyol oleh siapapun yang mungkin melihat kelakuanku. Aku senyum-senyum sendiri dalam hati membayangkan aku memeluk pilar-pilar itu dan dipergoki oleh seseorang. Seorang lelaki berpakaian seragam security menyambut kedatangaku dari balik pintu yang tak kalah menjulangnya daripada pilar-pilar tadi. Dia mempersilahkan aku masuk setelah kuutarakan maksud kedatanganku.

Bangunan yang kumasuki ternyata sebuah galeri tempat sang fotografer memajang karya-karyanya. Sebagian karyanya sudah pernah aku lihat di sebuah jejaring sosial. Foto-fotonya bertema makanan. Dia memang mengkhususkan diri dalam bidang food photography. Followernya berjumlah ribuan. Baik dari kalangan sesama fotografer maupun penikmat foto-foto artistik macam diriku. Kemampuannya telah mendapat pengakuan oleh berbagai komunitas fotografer. Aku heran bagaimana dia bisa dengan sangat pas mengambil sudut dari tiap obyek yang akan difotonya.  Pencahayaannya juga pas banget, menjadikan semua foto-foto hasil karyanya begitu artistik. Dia juga sangat memperhatikan komposisi warna tiap obyek foto yang berada dalam satu frame sehingga menghasilkan harmonisasi di tiap-tiap karyanya. Maklum saja, fotografi adalah dunia yang belum bisa kutaklukkan sampai saat ini. Makanya aku selalu terkagum-kagum melihat hasil jepretan orang-orang yang menurutku sangat jenius. Salah satunya adalah orang yang hendak kutemui ini.

Tiba-tiba mataku tertuju pada satu spot yang mungkin sedari awal tadi terlewat dari perhatianku. Ada inisial AK yang dibubuhkan sebagai watermark disalah satu karyanya. Tulisannya tipis sekali hingga hampir tak terlihat kalau saja mataku tidak jeli meneliti detil foto es cream berlatar belakang beberapa buah tersebut lebih dekat. Aku tahu nama sang fotografer adalah Kamal. Begitu yang kuketahui lewat akun Instagramnya. Tapi aku tak tahu nama lengkapnya. Aku yakin AK adalah inisial nama lengkapnya. Sepertinya aku begitu familiar dengan inisial itu tapi entah dimana. Sepertinya tidak terlalu lama, dan sangat sering aku memperhatikan inisial tersebut. Otakku tak bisa kupaksa untuk mengingatnya. Kemudian kususuri kembali dari awal deretan foto-foto yang berjejer rapi di dinding. Ternyata semua foto-foto itu dibubuhi watermark dengan inisial yang sama. Ah…kenapa otakku tiba-tiba buntu begini. Aku merutuki diriku sendiri dalam hati. Aku sering melihatnya sebelum ini. Tidak di akun instagramnya. Dia tak pernah memasang watermark diakunnya. Tapi dimana?

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Kehadiran satpam yang tiba-tiba sudah berada disampingku sangat mengejutkan aku. Mungkin tanpa kusadari sudah sedari tadi dia berdiri disampingku.

“Eh iya pak. Saya sedang memperhatikan inisial AK di tiap foto-foto ini. Saya pernah lihat sebagian foto-foto ini di internet tapi nggak ada inisialnya” Jelasku panjang lebar untuk menutupi kegugupanku.

“AK adalah inisial nama Ibu Anita Kamal. Beliau selalu membubuhkan inisial namanya di tiap karyanya”

“O….” hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. Karena aku sedang menyesali kedudulan diriku. Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa Kamal yang selama ini foto-fotonya kukagumi adalah seorang perempuan.

“Baik, Pak. Rasanya saya sudah terlalu lama di ruangan ini. Lebih baik saya menemui Ibu Anita Kamal sekarang” Aku buru-buru meninggalkan satpam dan berjalan menuju pintu samping yang tadi ditunjukkannya.

“Ruang kerjanya berada di ujung selasar itu, Mbak” itu kata-kata satpam yang kuingat saat pertama kali aku memasuki ruang galeri. Di kiri kanan selasar terdapat tanaman mawar berbagai warna yang terawat rapi. Di sebelah kanan terdapat kolam ikan Koi yang berukuran lumayan besar. Kalau saja pikiranku tidak terusik dengan inisial AK, ingin rasanya aku berlama-lama menikmati keindahan ikan-ikan tersebut. Rasanya selasar ini tak banyak dilalui orang. Satpam tadi juga memberitahuku bahwa akses ke kantor sang fotografer sebenarnya bukan dari ruang Galeri, melainkan dari sisi sebelahnya.

“Jam berapa acaranya” lamat-lamat kudengar suara berat seorang lelaki dari dalam bangunan yang terpisah sekitar sepuluh meter dari ruang galeri. Aku memperlambat langka kakiku.

“Jam 13” Suara seorang wanita menjawabnya pendek.

“Berhati-hatilah. Kupikir kamera itu terlalu sering meminta korban akhir-akhir ini. Bagaimana kalau ada yang curiga?” Suara lelaki itu lagi.

“Kamera ini akan terus meminta darah agar bisa menghasilkan foto-foto yang dikagumi banyak orang” Suara wanita itu. “Jangan khawatir, tidak ada yang akan curiga. Korbannya acak dan tidak ada kaitan apapun diantara korban-korban yang menjadi tumbal kamera ini” lanjut wanita itu.

Aku terkesiap sesaat. Pikiranku tiba-tiba melayang ke tumpukan beberapa foto yang ada di meja kerjaku. Itu adalah foto-foto korban pembunuhan yang belum bisa kupecahkan kasusnya. Foto-foto yang ada di mejaku adalah foto terakhir mereka beberapa hari sebelum meninggal secara misterius. Mereka tidak saling berkaitan. Tapi ada kesamaan di foto-foto tersebut. Ya !!! Aku ingat sekarang. Aku melihat inisial AK pada semua foto-foto korban. Jadi…… ah pikiranku dipenuhi modus-modus pembunuhan yang mungkin ada kaitannya antara para korban, inisial AK, dan wanita fotografer yang hendak kutemui ini. Tanpa kusadari langkah kakiku yang sedari tadi kuperlambat akhirnya mengantarkan aku ke depan pintu ruang kerja Anita Kamal. Aku gugup dan berusaha menarik pikiranku ke dunia nyata secepatnya. Perempuan berumur sekitar empat puluh lima tahun itu tak kalah kagetnya mendapati diriku tiba-tiba berada di depan ruang kerjanya dari arah yang mungkin tak pernah dia kira sebelumnya. Aku tiba-tiba teringat dengan sepupuku. Bayangan dia dan istrinya yang baru saja kemarin melangsungkan pernikahan berkelebatan dipikiranku. Aku harus menyelamatkan mereka. Tapi bagaimana caraku untuk mencegah wanita ini agar tidak bertemu mereka? Rasanya ingin sekali aku segera lari dari tempat ini dan memberitahukan semuanya kepada sepupuku. Tapi kedua kakiku seolah tertancap dengan kuat ke dalam lantai marmer yang kupijak. Lalu tiba-tiba semua yang ada disekitarku seolah berputar-putar semakin kencang….

Inst10

Inst10

Dan tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Mimpiku melayang begitu saja meninggalkan aku dalam keadaan termangu-mangu di pinggir ranjang. “What was that?” Tanyaku dalam hati.  Aku ingat sebelum tidur aku sedang membuka sebuah aplikasi yang merupakan sebuah client application dari Instagram. Nama aplikasinya Inst10. Aku member dari sebuah komunitas yang bernama Beta Zone. Tugasku adalah memberi feedback kepada pihak-pihak yang hendak meluncurkan aplikasi-aplikasinya ke appsworld. Jadi mereka memberiku kesempatan pertama untuk mendownload versi beta, menjajalnya pada gadgetku, dan menginformasikan kepada mereka jika ada bug ataupun masukan lain berkaitan dengan aplikasi beta tersebut. Jika aplikasinya sudah fix, baru deh dilaunching di appsworld secara terbuka.

Nah karena seharian aplikasi Inst10 tersebut kugeber di gadgetku Blackberry versi 10, agar aku bisa tahu errornya dimana, maka tak heran sampai kebawa dalam mimpi tuh foto-foto yang kulihat di Instagram.

***

Tyastlc

Nighty nighty night, Beginning March, 2015

Deja vu

Dejavu

Masih sesakit dulu

Ketika peristiwa itu telak menamparku

Masih seperih dulu

Ketika kenyataan itu mengiris perasaanku

Kehilanganmu…..hal terkelam dalam perjalanan hidupku

3 Nopember 2013, di tepi malam yang sepi

***

Aku baru saja menutup diaryku ketika ada notifikasi BBM masuk.  Aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Hanya dia yang tahu kebiasaanku yang masih terjaga jelang dini hari begini. Aku masih enggan beranjak dari kursiku untuk mengambil  blackberry berwarna putih yang tergeletak di samping bantalku. Aku malah mengambil kembali diary berwarna ungu muda yang tadi sudah kumasukkan dalam laci mejaku. Membukanya secara acak dan membaca lembar demi lembar tulisanku yang tertoreh di sana. Kembali kudengar notifikasi masuk, kali ini lebih keras disertai getaran yang tak kalah kerasnya sebanyak dua kali. Hm….rupanya dia tidak sabar menanti jawabanku sehingga merasa perlu memencet menu “ping” untuk menyita perhatianku. Aku beranjak dari kursiku, mengambil bantal di atas ranjang dan memindahkannya diatas pangkuanku sambil beringsut duduk bersandar pada headboard.

“Belum tidur kan, Raisa?”

PING !!!

“Hai…” Aku masih enggan menjawabnya lebih dari tiga huruf itu

“Ngapain aja sih, lama banget jawabnya?”

“Bernapas” Jawabku pendek

“Oh kirain pingsan”

“Pingsan juga bernapas lah. Kalau dah mati, nah itu baru nggak bernapas lagi” Keenggananku mulai hilang.

“Belum ngantuk, Raisa?”

“Belum”

“Kok belum sih? Ngantuk dong…”

“Lha memangnya kenapa kalau aku dah ngantuk?” Tanyaku bingung.

“Agar aku tidak perlu menemanimu begadang dan bisa tidur nyenyak”

“Yeee..kalau mau tidur ya tidur aja, Mas. Jangan pedulikan aku” protesku kepadanya.

“Bagaimana bisa, aku tidak peduli padamu, Raisa?”

“Qiqiqiqiqi….” Kurasa itu adalah jawaban ternetral yang bisa kuberikan kepadanya.

Ah….Isyarat itu sudah beberapa kali kutangkap tiap kami ngobrol baik lewat chat maupun telepon. Tapi entahlah, aku masih enggan untuk menanggapinya.

PING !!!

Aku tersadar dari lamunanku.

“Ya…” Jawabku.

“Kok diam sih?”

Aku hanya menjawabnya dengan  ikon tersenyum, sebuah jawaban netral yang lain ketika aku bingung mau menjawab apa.

“Aku inigin ke tempatmu, Raisa”

“Kapan?”

“Malam ini”

“Ah yang boneng” Jawabku sekenanya. Tentu dia nggak serius. Setidaknya dia harus menempuh perjalanan satu setengah jam untuk bisa sampai ke tempatku. Dan ini sudah sangat larut malam, ho..ho..ho..tentu tidak mungkin.

“Serius…”

“Mau ngapain sih?” Aku baru ingat kalau aku sedang berhadapan dengan lelaki nekat.

“Aku akan mencuri hatimu karena kau tidak pernah mau memberikannya padaku”

“Aku tahu kau sayang padaku, Raisa” Lanjutnya.

Sebenarnya aku menyukai perhatiannya. Tapi apa yang bisa kuberikan padanya selain hati yang sudah terkoyak. Sejurus kemudian dia menelponku.

“Aku segera kesana”

“Gila kau ya !!” Aku bingung dibuatnya.

“Jika aku sampai ke tempatmu, itu artinya kau harus memberikan hatimu padaku”

Aku masih akan menjawabnya ketika dia menutup telepon dengan tiba-tiba. Kata-kataku menggantung di ujung lidah dan urung terucap.

“Hati-hati di jalan ya” Aku seakan-akan merestui kenekatannya. Beberapa detik kemudian BBM itu terkirim dan terbaca tapi tak dia jawab. Mungkin dia sudah memacu mobilnya sehingga tidak bisa menjawabnya.

Sekian puluh menit berlalu, aku masih termangu dengan posisi yang sama. Iseng aku baca kembali BBM kami barusan. Sebenarnya aku tidak membacanya, aku hanya menggulir kursornya ke atas dan ke bawah. Satu jam berlalu. Hatiku makin tak menentu, entah kenapa. Aku belum siap memberikan hatiku padanya. Tiba-tiba saja kepingan-kepingan perhatiannya berkelebat dalam ingatanku. Membentuk sebuah kolase indah yang menggetarkan hatiku. Tak terasa dua jam sudah berlalu dan dia belum datang juga. Ada perasaan lega. Aku tersenyum sendiri merasa dikerjai olehnya. Rasanya aku ingin tidur nyenyak memeluk mimpiku yang hampir pudar disapu pagi.

***

Aku hendak membuka diaryku dan menuliskan keisengan yang kualami dini hari tadi ketika ada sebuah telepon masuk. Di layar handphoneku terpampang nama salah satu sahabat Mas Adrian.

“Raisa, dini hari tadi Adrian mengalami kecelakaan dan nyawanya tak tertolong” Katanya dengan suara yang bergetar

Aku tak sanggup berkata-kata. Seolah ada yang tercerabut dari hatiku. Sakit sekali rasanya.

 

Kepergianmu bagaikan sebuah deja vu…

4 Nopember 2013, di pagi yang terkoyak…lagi

 

Bulir-bulir air mata membasahi lembaran diaryku tanpa bisa kubendung lagi.

***

 

Dian Widyaningtyas

Tender, Love, and Care

November 5th, 2013. Playing with fiction in the still of the dawn.

Menepis Fatamorgana

Siang itu Surti baru pulang dari pasar ketika dia berpapasan dengan serombongan anak-anak yang berlari-lari kegirangan sambil mengacung-acungkan aneka jajanan kemasan. “Kang Tarjo pulang….Kang Tarjo pulang…Kang Tarjo pulang….!!! begitu teriak mereka berulang-ulang. Entah mengapa hati Surti ikut berbunga-bunga. Selama ini dia menunggu  Tarjo dalam diam.

“Tunggu aku ya, Sur” kata Tarjo disuatu senja yang tiba-tiba terasa muram di mata Surti

“Tapi Kang Tarjo ora lali karo aku kan?” rajuk Surti

“Ora lah Sur. Bagaimana aku bisa melupakan kembang desa seperti dirimu?”

Surti tersenyum-senyum sendiri mengingat percakapan mereka tiga tahun silam.  Dia mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah dan menceritakan kedatangan Tarjo kepada Si Mbok.

——————————————————————-

Tarjo bertahan di Langgar kecil di dekat rumahnya seusai sholat Ashar. Dia mengamati bangunan Langgar itu.  Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sejak kepergiannya tiga tahun silam.  Bahkan yang ikut sholat berjamaah masih sesepi dulu.  Masih bisa dihitung dengan jari.  Dulu dia tidak begitu peduli dengan semuanya itu.

“Aku harus memulainya dari tempat ini” gumam Tarjo menyemangati dirinya sendiri. Lalu dia memanggil anak-anak yang sedang bermain di halaman Langgar. Sore itu pertama kalinya Tarjo mengajari anak-anak kampung mengaji.

Kegiatan itu berlanjut sampai seusai sholat Magrib. Kian hari anak-anak yang mengaji semakin banyak saja.  Yang ikut sholat berjamaah juga semakin banyak.  Tidak terkecuali kaum perempuannya. Langgar kecil itu terasa semakin sesak saja tiap datang waktu sholat.  Tapi Tarjo tidak pernah melihat sosok perempuan yang dulu begitu dekat di hatinya diantara mereka .  Kesibukan  mengajari anak-anak mengaji yang membuat keinginannya untuk menemui perempuan itu di rumahnya selalu tertunda. Dan menemui perempuan itu bukan lagi menjadi hal penting bagi Tarjo.

—————————————————

“Sur, ojo lali besok malam tayuban di rumah Pak Karto tetangga desa ya”

“Iya, Mbok. Surti sudah siapkan semuanya”

“Si Mbok ora isa ngeterke yo, Nduk. Biar Supri yang ngantar”

Surti hanya diam. Pikirannya menjelajah ke tempat lain. Memikirkan seseorang yang sudah beberapa hari ini ditunggunya dengan hati tidak menentu. Kalau saja dia tidak ingat adat, sudah dari kemarin-kemarin dia datangi lelaki yang sudah membuat tidurnya tidak nyenyak beberapa hari ini.

“Ana apa tho, Nduk? Awakmu mikir Kang Tarjomu yo?

Surti tertunduk malu.  Pipinya bersemu merah.  Hanya kepada Si Mbok lah Surti selama ini menceritakan perasaannya kepada Tarjo.  Menceritakan kisahnya dengan lelaki itu, juga janji diantara mereka sebelum kepergian Tarjo ke kota untuk menuntut ilmu.

“Iya, Mbok” jawabnya lirih. “Opo Kang Tarjo wes lali karo aku yo, Mbok? tanya Surti lirih seolah berbisik pada dirinya sendiri.

“Nduk, kalau Si Mbok lihat Tarjo yang sekarang berbeda dengan Tarjo yang dulu”

“Si Mbok beberapa kali ketemu dia sedang ngajari anak-anak kampung ngaji di Langgar dekat rumahnya”

“Kang Tarjomu sudah berubah, Nduk”

“Sekarang Tarjo dadi wong alim”

“Awakmu kudu mikir, sapa sira sapa ingsun. Tarjo itu siapa, kamu itu siapa” Kata Si Mbok panjang lebar.

“Tarjo kuwi anake ndoro, bocahe bagus, pendidikane dhuwur, tur alim”

“Lha awakmu kuwi anake wong ora duwe, sekolah SMA wae ora tamat, trus awakmu kie ledhek”

“Coba dipikir, opo yo pantes wong alim nyanding karo ledhek?”

Hati Surti bagai teriris. Kata-kata Si Mbok seolah menyadarkannya dari mimpi indah. Rasanya bagai terjerembab ke dasar jurang yang sangat dalam. Surti terpaksa menerima tawaran untuk menjadi penari di group tayub karena himpitan ekonomi sejak Pakne meninggal.  Itu terjadi setelah kepergian Tarjo ke kota.  Tiba-tiba dia menyesali suratan nasibnya.  Dia menyesali kenapa dia jadi penari tayub.

“Nduk, Supri lebih pantas untukmu”

“Dia orangnya juga baik, perhatian sama keluarga kita”

“Sebenarnya Supri sudah beberapa kali nembung sama Si Mbok”

“Cobalah mencintainya” lanjut Si Mbok

“Tapi Kang Supri sudah kuanggap seperti kakangku dewe, Mbok” jawab Surti

“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun” kata Si Mbok sambil menatap teduh ke arah Surti

————————————————————

Surti bergegas berteduh di teras  Langgar ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya sore itu. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak kampung yang sedang mengaji ditingkahi deras suara hujan.  Sesekali terdengar suara lelaki dewasa menuntun ngaji anak-anak.  Suara  itu begitu akrab ditelinga Surti…..sekian tahun yang lalu. Itu suara Tarjo.  Suara yang dulu mampu menentramkan hatinya. Ragu-ragu Surti mencari arah sumber suara. Dari luar jendela, dari tempatnya duduk bersimpuh, dilihatnya Tarjo diantara kerumunan anak-anak kampung.  Wajahnya bersih, rambutnya rapi, memakai kopyah hitam dan koko putih. Hampir saja Surti tidak mengenali sosok lelaki dibalik jendela itu.

“Apa yang membuatmu berubah, Kang?” gumam Surti sendiri

Dulu Tarjo seperti kebanyakan pemuda di kampung itu, penampilannya agak urakan. Hanya saja dia punya keberanian lebih untuk mendekatinya.  Mungkin karena dia anak orang terpandang, makanya Tarjo punya nyali untuk mendekati Surti yang jadi kembang desa di kampungnya.  Beberapa tahun mereka menjalani kisah sembunyi sebelum akhirnya Tarjo lulus SMA dan harus melanjutkan kuliah ke kota. Waktu itu Surti baru masuk SMA. kemudian Surti harus rela meninggalkan bangku sekolahnya setelah Bapaknya pergi untuk selama-lamanya.  Tiba-tiba semua kenangan itu berkelebat dalam pikiran Surti.

Kembali Surti melemparkan pandangan ke arah Tarjo yang masih sibuk dengan murid-murid ngajinya. Tarjo sama sekali tidak menyadari kehadiran Surti di luar sana.  Ingin sekali Surti menghambur ke arah Tarjo untuk meluapkan rasa kangennya, menceritakan ribuan kisah saat mereka harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. Tapi ada kesedihan yang tiba-tiba merayapi hatinya ketika dia menyadari siapa dirinya sekarang.

“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun”  kata-kata Si Mbok kembali terngiang-ngiang di telinganya.  Surti memutuskan menerobos hujan yang masih turun dengan derasnya.  Tak dia pedulikan lagi tubuhnya yang menjadi basah dan menggigil kedinginan. Dia berharap hujan deras itu bisa muluruhkan rasa galau di hatinya.  Dia berharap hujan deras itu mampu menghapus sosok Tarjo dari pikirannya.

———————————————————————————-

Malam ini Tarjo harus menggantikan bapaknya menghadiri undangan Pak Karto. Sudah lama dia tidak silahturahmi ke teman akrab bapaknya itu. Paklik Karto, begitu Tarjo biasa memanggil teman bisnis bapaknya.  Musik tayub begitu mengganggu telinga Tarjo.  Kalo saja ini bukan undangan dari sahabat Bapaknya, ingin rasanya Tarjo segera meninggalkan tempat itu.  Seorang ledhek memasuki panggung sambil melenggak lenggok gemulai mengikuti alunan musik tayub.  Semua mata undangan tertuju ke arah wanita itu.  Gemulai gerakan tubuhnya dan cantik paras wajahnya seolah magnet yang luar biasa kuat yang mampu menarik perhatian semua lelaki yang hadir disitu. Tidak terkecuali Tarjo yang tiba-tiba merasa mengenali sosok penari ledhek itu.  Tarjo terkesiap ketika menyadari bahwa penari itu tidak lain adalah Surti, gadis pujaannya dulu.  Sejurus kemudian Tarjo memalingkan muka dan beranjak pergi dari tempat itu.  Tarjo tidak bisa menutupi rasa kagetnya melihat Surti menjadi penari ledhek.  Sungguh dia tidak pernah menyangka sebelumnya, Surtinya yang dulu lugu sekarang menjadi penari penghibur.

“Apa salahnya seorang penari ledhek, Tarjo?” suara lain dari dalam dirinya

Ah…Tarjo tidak sanggup membayangkan gurat kecewa Ibunya jika dia bermenantukan penari ledhek. Ibunya seorang priyayi yang sangat menjaga adat sopan santun. Tarjo tidak bisa membayangkan rasa malu bapaknya jika punya menantu penari penghibur.  Bapaknya adalah sosok terpandang yang sangat dihormati warga sekitar. Tarjo tidak sanggup membayangkan semua itu…

Surti yang sudah memperhatikan Tarjo sejak dari balik panggung begitu terpukul melihat kekagetan Tarjo.  Ada rasa terhina, ada rasa terhempas, ada rasa nelangsa, semua bercampur baur dihatinya.  Andai saat ini dia tidak sedang menjalankan tugasnya sebagai penari ledhek, ingin  sekali dia berlari meninggalkan panggung, berlari dan terus berlari meninggalkan semua impiannya.  Sekuat tenaga dia menahan gerimis yang meronta-ronta ingin terbebas dari kungkungan kelopak matanya.  Malam itu gerakan Surti makin menghebat, seolah dia menyatu dengan iringan musik tayub yang berkumandang dari samping panggung.

“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun” kata-kata Si Mbok terngiang-ngiang lagi ditelinganya.

“Aku tidak akan menagih janjimu, Kang Tarjo” bisik hati Surti

Dengan gemulai Surti berjalan ke arah tamu undangan.  Ada Kang Supri di deretan paling depan yang selalu setia menemaninya tanggapan.  Surti mengalungkan sampurnya ke leher Kang Supri dan menarik lelaki itu dengan lembut ke atas panggung.  Malam ini Surti ingin menari dengan Kang Supri sampai acara usai.

Dian Widyaningtyas

Tender Loving Care

Jelang pulang kantor, July 25th, 2013

#TTR

Ilalang Kering

Sudah hampir sebulan Nayla terganggu dengan sms, email dan misscall yang bertubi-tubi dari seorang lelaki yang bernama Prasetyo. Entah angin apa yang membuat lelaki dari masa lalunya itu tiba-tiba muncul kembali dalam kehidupan Nayla. Entah sebuah kebetulan belaka atau sudah direncanakan, yang Nayla ingat lelaki itu mulai mengirimkan sms pertamanya dua bulan sejak kepergian belahan jiwa Nayla. Sejak saat itu Nayla merasa semua gerak geriknya tidak lepas dari perhatian Prasetyo dan seolah-olah lelaki itu ada disekitar dia.

Dan puncaknya adalah beberapa menit jelang jam pulang kantor. Tiba-tiba resepsionis memberitahu bahwa ada klien yang ingin bertemu dirinya.

“Prasetyo…!!” suara Nayla seolah tercekat ditenggorokan. Sungguh pertemuan yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Lelaki di depannya itu tidak banyak berubah sehingga mudah bagi Nayla untuk mengenalinya kembali.

“Apa khabar, Nay?” sapa Prasetyo dingin sambil mengulurkan tangannya.
“Kaget melihatku, Nay?” sambung lelaki itu dengan senyuman yang sulit diartikan.
Ragu-ragu Nayla menyambut uluran tangan Prasetyo. Jabat tangannya masih seperti dulu, jabat tangan yang mendominasi dan penuh percaya diri.
“Sudah lama kunantikan saat ini, Nay. Saat ketika kau begitu tak berdaya” kata Prasetyo masih dengan nada dingin.
“Apa yang kau inginkan dariku, Prasetyo?” Tanya Nayla lemah.
“Aku menginginkanmu” suara Prasetyo terdengar tegas dan dingin ditelinga Nayla. Nayla mulai ketakutan. Dia sangat tahu seperti apa karakter lelaki dihadapannya.
“Seharusnya dulu kau tidak meninggalkanku, Nay. Tak seorang pun wanita yang memperlakukan aku seperti itu” sambung Prasetyo.
“Kau mulai membuatku tak nyaman, Pras” kata Nayla berusaha menekan amarahnya.
“Dulu aku membiarkanmu pergi, Nay. Tapi sekarang aku tidak akan membiarkanmu pergi. Aku tidak akan pernah melepasmu” Prasetyo memberi tekanan pada kata-katanya.
“Aku masih sangat mencintaimu, Nayla” Prasetyo tak bisa lagi membedakan perasaannya kepada Nayla. Antara cinta dan benci bercampur jadi satu membuncah dihatinya.
“Tinggalkan kantorku sekarang juga, Pras!” pertahanan Nayla hampir jebol. “Baiklah, Nay. Tapi kau akan membayar masa-masa yang telah lalu” Lelaki itu berlalu dari hadapan Nayla. Meninggalkan Nayla dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk memenuhi kepalanya.

Brakkk !!!!
Nayla membanting pintu mobilnya. Kemarahan Nayla akhirnya meledak juga tanpa sanggup dia tahan lagi. Hanya itu pelampiasan amarah yang bisa dilakukannya. Bulir-bulir bening mengalir perlahan dari mata Nayla. Semakin lama semakin deras, diikuti bahunya yg terguncang semakin keras. Nayla menangis sepuas-puasnya di dalam mobil. Sesak di dalam hatinya tak sanggup lagi dia tahan. Berharap dengan menangis beban hatinya sedikit berkurang.

Nayla mulai menjalankan mobilnya dengan pelan. Ingatan Nayla kembali kemasa delapan tahun silam. Pada sosok pria yang pernah begitu dia cintai sekaligus dia takuti. Prasetyo adalah sosok lelaki yang posesif. Nayla terpasung dalam sikap posesif Prasetyo. Tapi dia mencoba menikmati pasungan itu, atas nama cinta. Nayla dibutakan oleh rasa cinta dan ketakutan. Berharap suatu saat semuanya akan berubah. Tapi nyatanya Prasetyo adalah sosok egois tak setia yang menuntut cinta Nayla sepenuhnya. Rasa kecewa lah yang telah memberi Nayla keberanian yang luar biasa untuk meninggalkan lelaki itu.

Nayla baru saja membuka pintu rumahnya ketika ada email masuk ke HPnya. Perlahan dia baca email dari lelaki itu…

Nayla…..
Kau bagaikan ilalang kering yang rapuh tak berdaya
Dan aku bisa dengan mudah merenggut ilalang kering itu dengan genggamanku…

Nayla mencoba menenangkan gejolak hatinya.
“Kau salah Prasetyo. Ilalang kering yang kau sangka rapuh tak berdaya ini masih punya sisi tajam yang bisa melukai tanganmu. Ilalang kering ini tidak akan pernah menjadi milikmu. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak juga nanti” bisik Nayla penuh percaya diri.

Dian Widyaningtyas
Tender, Love, and Care
02:15 AM June 11th, 2013
It’s rain outside !

Posted from WordPress for BlackBerry.

Luka Hati Arini, Luka Hati Rara

Jam istirahat kali ini aku meluncur ke Ciputra World, sebuah mall yang cukup megah di kotaku. Aku sedang menunggu seseorang yang hanya pernah kulihat fotonya di facebook. Ah..bodohnya diriku, harusnya kotak pesan itu kusetting supaya orang yang bukan temanku tidak bisa mengirimiku pesan. Kalau saja hal itu kulakukan, aku pasti bisa menghindari pertemuan ini.”Assalamualaikum, perkenalkan saya istrinya mas Anton. Bisakah kita bertemu empat mata?” begitu pesan yang kuterima dari seorang wanita pemilik akun Arini Kusuma.

Sesaat bagai aliran listrik tegangan tinggi menyengatku. Kulihat Anton di seberang sana duduk tenang di meja kerjanya. Kembali aku telusuri huruf demi huruf pesan yang dikirim wanita yang mengaku istrinya Anton. Well, aku bukan pengecut. Akhirnya kami putuskan untuk bertemu disini, tempat yang agak jauh dengan kantorku. Aku harus membuat berbagai alasan untuk bisa ke mall ini sendiri tanpa ditemani Anton. Aku menunggu wanita itu di sebuah rumah makan khas masakan lokal. Suasananya sangat nyaman, bersih dan para pelayannya sangat ramah. Segelas orange juice menemani degup jantungku yang tiba-tiba berdetak tidak menentu. Apakah yang akan dilakukan wanita itu padaku? mencaciku habis-habisan di tempat umum ini? atau menangis memohon rasa ibaku? Ah entahlah….aku pasrah apapun yang akan terjadi padaku.

Jam menunjukkan angka dua belas lewat dua puluh lima menit ketika mataku menangkap sesosok wanita berpenampilan anggun yang berjalan ke arahku. Penampilannya sangat serasi hampir tanpa cela. Gamis warna pastel dan jilbab putih membuatnya terlihat semakin cantik dimataku. Hatiku makin tidak menentu.

“Arini seorang yang sangat perfeksionis. Semua harus sempurna tanpa ada cela. Dia mengungkapkan cintanya dengan sangat sempurna. Tapi dia tidak pernah bisa memahami ungkapan cintaku padanya. Baginya cinta adalah bunga, cinta adalah kata-kata mesrah. Sedangka ungkapan cintaku berbeda” Kata Anton suatu hari diantara kebersamaan kami.

Wanita di depanku ini memang luar biasa. Harusnya Anton merasa beruntung punya istri seperti Arini.

“Assalamualaikum” sapa Arini dengan suara lembut dan santun. “Saya pernah melihat foto mbak Rara di ponsel mas Anton” sambungnya. Itu pasti foto kami saat Anton memaksa boss agar dia bisa menemani perjalanan dinasku ke luar kota. “Harusnya tidak ada jejak apapun yang kau tinggalkan, Anton” kataku dalam hati

“Saya sangat mencintai mas Anton. Semua begitu sempurna sampai enam bulan yang lalu saya menyadari ada yang berubah pada sikapnya” kata Arini masih dengan nada yang sangat tenang. Dia berusaha menekan perasaannya.

Enam bulan yang lalu memang awal kedekatanku dengan Anton. Kami yang sama-sama easy going tiba-tiba saja menjadi sangat nyambung membicarakan banyak hal. Kami tim yang sangat solid di kantor. Aku tidak lebih mengganggapnya sebagai teman, tapi Anton menganggapku lain.

“Aku selalu nyaman di dekatmu. Bersamamu aku bisa menjadi diriku sendiri” kata Anton ketika aku berusaha menjauhinya

“Kau lelaki beristri, Anton. Kau harus sadari itu. Permainan ini harus berakhir” elakku

“Kau anggap ini permainan? Aku mencintaimu, Rara!” setengah berteriak dia.

Hubungan kami memang tidak pernah berakhir hingga detik ini.  Rasa di hatiku semakin hari semakin kuat saja. Ah…andai saat itu aku tegas menyudahi permainan ini, mungkin aku tidak akan terjebak dalam perasaanku sendiri.

“Mbak Rara, saya mohon mbak merelakan kami menata ulang hidup kami kembali” dia raih tanganku. Pertahanannya mulai jebol. Matanya mulai berkaca-kaca walau tidak sampai menangis. Aku tersentak. Sekian detik aku memperhatikan matanya. Aku baru menyadari dibalik sikapnya yang selalu perfeksionis ternyata Arini seorang yang sangat rapuh. Arini begitu terluka.

Aku tidak pernah berniat merebut Anton darinya. Pun ketika hatiku dipenuhi bunga-bunga saat bersamanya. Tak bisa kupungkiri perasaanku, aku juga mencintai Anton walau aku tidak ingin memilikinya. Tapi Arini lebih membutuhkan Anton.

“Arini, maafkan saya” kataku tercekat “Yakinlah bahwa Anton akan tetap menjadi milikmu. Dan saya akan menjauh dari kehidupan kalian. Saya tidak ingin Anton tahu pertemuan kita ini” Aku melihat sebersit senyum di bibirnya. Senyum tulus yang semakin membuatku bersalah.

“Terimakasih mbak Rara. Doakan kami bisa memulai segala sesuatunya kembali” pamitnya.

Aku masih terus memperhatikan langkahnya menjauh. Hingga sosoknya semakin kabur seiring butiran bening menetes di pipiku. Hatiku gerimis. Tak pernah kusangka akan sesakit ini melepas lelaki yang sudah enam bulan mewarnai hari-hariku. Aku sudah memutuskan. Besok aku harus meninggalkan kota ini setelah menyerahkan surat pengunduran diriku ke HRD. Semoga kalian bisa menemukan kebahagiaan kalian kembali.

Dian Widyaningtyas

Tender, Love, and Care

Sidoarjo, very early morning, May 7th, 2013