Dulu di rumah mbahku ada seorang wanita paro baya dengan dua anaknya, yang sulung perempuan dan yang bungsu lelaki. Aku masih ingat betul nama-nama mereka, tapi tak usahlah kusebut di sini. Bahkan aku masih ingat betul beberapa momen kebersamaan kami. Waktu itu ayah ibu masih tinggal serumah sama mbah, begitu juga dengan wanita dan anak-anaknya itu. Mereka tinggal di bagian belakang rumah mbah yang memang sangat besar. Aku tidak pernah melihat suami wanita itu. Mungkin dia single parent seperti diriku saat ini. Mbah menyebut dia sebagai batur. Waktu itu aku belum paham arti batur, tapi kalau dilihat dari arti kata “dibaturi” yang berarti ditemani, aku menyimpulkan bahwa mereka adalah teman. Teman untuk mbah putri ketika beraktifitas di dapur. Teman mbah putri untuk ngobrol-ngobrol ketika rumah sebesar itu sepi karena ditinggal mbah kakung kerja dan anak-anaknya sekolah. Sedangkan anak-anak wanita itu menjadi teman bermain om-om dan tante-tanteku. Aku tidak ingat waktu itu apakah mereka sekolah atau tidak. Ketika aku mulai bisa jalan, anak-anak wanita itu bertugas untuk momong aku. Walau mbah putri dan ibuku tidak bekerja, tapi mbah kakung selalu menyediakan batur untuk keluarganya. Di kemudian hari ketika mbah sudah bisa merelakan ayah dan keluarga kecilnya ngontrak rumah sendiri pun, ayah selalu menyediakan batur untuk ibu walo ibuku tidak bekerja dan sangat banyak waktu untuk mengurusi rumah dan anaknya. Mungkin karena kultur di keluarga ayahku seperti itu.
Jejak Masa Lalu
Blass, Pak !!
Usianya sekitar 50-an, badannya tambun, dan selalu memakai baju safari. Dengan menenteng tas kerja dia berjalan ke kelasku. Kemudian dia duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Letaknya kebetulan berhadapan dengan meja kursiku. Ya..aku selalu memilih duduk di deretan depan karena malas memakai kacamata minusku. Dia adalah salah satu guru agama di kelasku. Aku tidak tahu kenapa sekolah memberi kami dua guru untuk satu bidang studi. Kebetulan dua orang ini dari “aliran” yang berbeda. Yang satu Nahdliyin, dan satunya lagi Muhammadiyah. Orangnya lucu. Sesekali dia menyentil Nadliyin, padahal di kelasku ada beberapa teman yang mondok di pesantren Nadliyin. Misalnya dia menyentil masalah kendurian memperingati sekian hari orang yang meninggal dan sebagainya yang disampaikannya secara santai dan sedikit jenaka.
Sejurus kemudian, dia membetulkan letak kacamatanya. Lalu dia keluarkan sebuah buku tipis yang sudah kumal dari saku bajunya. Tampaknya buku itu dilipat jadi dua agar bisa masuk dalam saku baju. Satu persatu dia panggil nama kami. Ini adalah kegiatan rutin yang dia lakukan sebelum mulai masuk ke materi. Dia mengabsen berapa rekaat tahajud dan witir yang sudah kami lakukan semalam. Ini bisa menjadi nilai tambah buat kami. Awalnya aku semangat sekali sholat tahajud dan witir kalau besoknya ada pelajaran agama dan jadwalnya dia yang mengajar. Tapi malam sebelumnya aku jadi sulit meluruskan niat, apakah sholatku karena dia atau lillahi ta’ala. Jadi kuputuskan untuk tidak sholat tahajud dan witir. Bagi kami yang perempuan, jika tidak melakukan sholat tahajud dan witir ada dua kemungkinan; yaitu berhalangan atau malas.
Akhirnya tiba giliranku dipanggil. Menjawab sedang halangan jelas nggak mungkin karena memang aku tidak sedang berhalangan. Itu kan bohong namanya. Akhirnya aku ikuti kebisaan teman-teman jika lagi bolong nggak sholat tahajud dan witir.
“Blass, Pak!!” Jawabku lantang.
“Yo ngunu..enek peningkatan. Sakiki wes iso sewelas rokaat” katanya sambil menulis sesuatu di buku catatannya.
Gubrakssss….!!! Kami biasanya hanya cekikikan saja. Sak karep, Pak. Pokoke aku ora mbujuk loh yaaaa….
Padahal dia sedang membiasakan kami untuk sholat tahajud dan witir dengan rutin. Satu malam yang dia absen itu hanyalah sebuah pancingan saja untuk membiasakan kami sholat tahajud dan witir di malam-malam lainnya. Dan jujur saja karena perintah dia lah aku jadi “terpaksa” sholat tahajud dan witir. Itu adalah tahajud dan witirku yang pertama. Sebuah keterpaksaan yang akhirnya aku syukuri karena lama-lama aku menemukan ketenangan di dalamnya. Memang begitu adanya, bahwa terkadang kebiasaan baik itu perlu dipaksakan.
Tahajud yuk…!!
***
Dian Widyaningtyas
Tender, love, and care
Lonely night……..Early Monday, December 30
Jalan Kabel E7/12 Ponjay
Disuatu Minggu pagi yang cerah beberapa minggu yag lalu, aku mendapat kiriman beberapa foto dari seorang teman. Foto yang sebelumnya memang sudah kupesan ke dia sebelum kepergiannya ke Jakarta. Sebenarnya aku nggak berharap banget sih, karena takut ngerepotin dia. Syukurlah dia masih menyempatkan waktu mengabadikan sebagian jejak masa laluku yang tertinggal di Jakarta.
Surprise banget melihat foto-foto tersebut. Hampir saja aku tidak mengenalinya lagi. Wajar saja karena aku dan empat temanku yaitu Cik Sulis yang sekarang bertugas di KPP Madya Sidoarjo, Mbak Yus yang sekarang bertugas di KPP Situbondo, Mbak Itus yang sekarang bertugas di KPP Singosari, serta Mbak Berta yang sekarang bertugas di KPP Mulyorejo, tinggal disana dari tahun 1993 – 1996. Itu artinya sudah sekitar 17 tahun berlalu.
Jalan Kabel E7/12 adalah rumah kontrakan kami selama tiga tahun kuliah di STAN Prodip Keuangan Jakarta. Kontrakan kami rumah nomor dua dari mulut gang, jadi disebelahnya rumah tingkat yang berada dalam foto di samping ini. Rumah tingkat ini dulunya belum bertingkat, dihuni pasangan muda dari Padang yang baru memiliki satu putri. Sedangkan di sisi yang lain dari rumah kontrakan kami dihuni oleh keluarga dengan dua anak, perempuan dan laki-laki. Yang paling kuingat dari tetanggaku ini, si ibu sering nyanyi keras-keras sampai terdengar dari rumah kontrakan kami. Anak bungsunya akrab dengan Mbak Itus yang memang telaten momong anak kecil. Hanya itu yang kuketahui dari tetangga kiri-kananku. Maklum aku kan pendiam….ehem…:)
Di depan rumah kontrakan kami dulu, tepatnya dibelakang perumahan Bintaro Jaya, yang ada hanyalah semak belukar saja. Tapi sekarang sudah penuh dengan rumah. Diujung gang yang nampak di foto tersebut dulu terdapat warung Tegal tempat kami kadang beli nasi bungkus, terutama saat-saat tanggal tua. Karena warung Tegal harganya lebih murah dan nasinya banyak. Maklum kalau tanggal tua yang penting kuantitas, kualitas mah nomor sekian qiqiqi…..Tapi langganan kami makan tiap hari sih di gang belakang, namanya Bu Tukul. Ayam bumbu kecapnya enak banget. Oseng luencanya juga enak. Ayam bumbu kecap adalah menu kegemaran Cik Sulis waktu itu.
Ini nih pintu gerbang Perumahan Pondok Jaya. Sepertinya tidak ada perubahan, bahkan rumah pojok yang nampak itu seingatku dari dulu sudah ada dan bentuknya sudah seperti itu. Disebelah kiri gerbang perumahan dulu terdapat penjual nasi uduk yang bersebelahan dengan penjual karedok dan gado-gado langganan kami. Gado-gado di Jakarta berbeda dengan gado-gado di tempat asalku. Jadi waktu itu aku harus beradaptasi dengan gado-gado a la Betawi karena aku penggemar makanan bersaus kacang semisal gado-gado.
Sebenarnya ada beberapa foto yang memperlihatkan rumah kontrakan kami. Tapi karena mengabadikannya tanpa seijin pemilik rumah, jadi sebaiknya buat konsumsi pribadi saja. Melihat semua foto-foto itu membuat kenanganku menari-nari kekurun waktu antara tahun 1993 sampai dengan 1996. Ada ketakutan akan ancaman DO tiap akhir semester, ada kangen kampung halaman tiap saat, ada suka cita tiap datang libur panjang dan kami bisa pulang kampung ke Jombang bareng-bareng. Ya, kami memang berasal dari satu kota, bahkan satu SMA. Ada cinta dan air mata di rumah itu, ada kebandelan kami pula disana. Eh yang bandel bukan kami ding, tapi aku. Aku sering lompat jendela kamarku saat ada pengajian dari Ketua IMAJJ waktu itu. Maklum yang ngisi kajian ikhwan, jadi dia di ruang tamu sendirian, kami berlima berkumpul di dalam kamarku yang letaknya memang di depan, dengan pintu yang tertutup. Saat acara pengajian dimulai biasanya aku ngacir lompat jendela dan pergi ke belakang. Andai yang ikut ngaji ngacir lompat jendela semua, Ikhwannya juga nggak bakalan tahu deh qiqiqiqi. Kenapa yang ngisi kajian seorang Ikhwan? Karena waktu itu kami begitu takut akan adanya aliran sesat yang marak beredar di lingkungan kampus, jadi kami merasa lebih aman kalo yang ngisi teman dari Jombang sendiri.
Well….masih banyak kenangan-kenangan lain yang aku yakin masih tersimpan rapi abadi dalam ingatan para penghuni Jalan Kabel E7/12 Pondok Jaya. Suka duka di rumah itu tidak akan pernah terhapus dari ingatanku. Menyisahkan harap yang samar, semoga suatu saat aku bisa napak tilas ke sana. Semoga…….
Dian Widyaningtyas
Tender Loving Care
Wednesday 02:30 AM, July 24th, 2013
Foto-foto : Koleksi pribadi Silent_Assassin