Dulu di rumah mbahku ada seorang wanita paro baya dengan dua anaknya, yang sulung perempuan dan yang bungsu lelaki. Aku masih ingat betul nama-nama mereka, tapi tak usahlah kusebut di sini. Bahkan aku masih ingat betul beberapa momen kebersamaan kami. Waktu itu ayah ibu masih tinggal serumah sama mbah, begitu juga dengan wanita dan anak-anaknya itu. Mereka tinggal di bagian belakang rumah mbah yang memang sangat besar. Aku tidak pernah melihat suami wanita itu. Mungkin dia single parent seperti diriku saat ini. Mbah menyebut dia sebagai batur. Waktu itu aku belum paham arti batur, tapi kalau dilihat dari arti kata “dibaturi” yang berarti ditemani, aku menyimpulkan bahwa mereka adalah teman. Teman untuk mbah putri ketika beraktifitas di dapur. Teman mbah putri untuk ngobrol-ngobrol ketika rumah sebesar itu sepi karena ditinggal mbah kakung kerja dan anak-anaknya sekolah. Sedangkan anak-anak wanita itu menjadi teman bermain om-om dan tante-tanteku. Aku tidak ingat waktu itu apakah mereka sekolah atau tidak. Ketika aku mulai bisa jalan, anak-anak wanita itu bertugas untuk momong aku. Walau mbah putri dan ibuku tidak bekerja, tapi mbah kakung selalu menyediakan batur untuk keluarganya. Di kemudian hari ketika mbah sudah bisa merelakan ayah dan keluarga kecilnya ngontrak rumah sendiri pun, ayah selalu menyediakan batur untuk ibu walo ibuku tidak bekerja dan sangat banyak waktu untuk mengurusi rumah dan anaknya. Mungkin karena kultur di keluarga ayahku seperti itu.
Sampai aku besar, seingatku hanya wanita itu yang menjadi batur mbah putri. Nggak pernah ganti-ganti. Sampai kedua anak wanita itu beranjak dewasa, dan sulungnya menikah. Nikahnya dibiayai mbah kakung. Kami semua datang ke kampung halaman wanita itu waktu acara mantu anak sulungnya. Kedatangan kami sekeluarga besar, terutama mbah kakung, merupakan suatu kehormatan bagi wanita itu dan keluarga besarnya. Kami seperti keluarga sendiri, tidak ada majikan dan bawahan. Aku masih ingat betul, baju pengantinnya gaun putih a la Eropa, dan dirias pake bindi di keningnya seperti pengantin India. Tak lama kemudian mbah kakung memberi hadiah sepetak tanah dan rumah mungil tak jauh dari rumah mbah. Terakhir wanita itu berjualan klanting di pasar yang juga tidak jauh dari rumah mbah, setelah “mengabdi’ di rumah mbah puluhan tahun.ย Di rumah ayah juga begitu, dari aku kecil sampai besar, ibu ganti pembantu nggak sampai itungan lima jari. Itupun seingatku karena mbak-mbaknya mau nikah. Malah ada mbak yang paling lama, bahkan sampai nikahpun masih bantu-bantu di rumah ibu. Bahkan ketika acara nikahku, aqiqah anak-anakku dari sulung sampai bungsu, mbak ini masih bantuin kami. Aku heran kenapa orang-orang ini begitu loyal dan awet mengabdi pada keluarga mbah dan ayahku?
Aku lantas membandingkan dengan khadimat-khadimat yang bekerja di rumahku dari anak pertama lahir sampai sekarang ini, jari-jari di dua tangan dan dua kakiku tak cukup untuk menghitungnya. Aku bahkan tak bisa lagi menyebut mereka satu persatu. Saking banyak dan seringnya ganti-ganti khadimat sampai aku tak ingat lagi. Ada yang cuman sehari sudah minta pulang, ada yang seminggu, sebulan, ah…banyak pokoknya. Padahal awal-awal punya anak dua yang jaraknya hanya selisih sebelas bulan, sekali mendatangkan khadimat dari kampung langsung tiga orang. Kerjaan dibagi-bagi biar nggak berat. Pun ketika anak ke-3 dan ke-4 lahir, aku memutuskan untuk menggaji dua baby sitter dan satu khadimat. Seperti ini pun khadimatnya nggak awet, walau baby sitter awet sampai anak-anak tidak lagi memerlukan mereka. Mungkin kesalahan ada pada aku yang kurang bisa ngemong, mungkin aku yang pendiam dan kurang komunikatif sama mereka sehingga mereka merasa kucuekin, tapi dari jaman aku kecil dan berinteraksi dengan baturnya mbah, pembantunya ibu, dan khadimat-khadimatku, memang mereka beda banget. Sekarang sedikit yang masih punya loyalitas dan niat mengabdi. Upah besar dan perlakuan sebagai keluarga tak cukup untuk menahan mereka untuk tetap bersedia tinggal bersama kita. Begitu ada yang membuat mereka kurang nyaman sedikit saja atau ada iming-iming upah lebih besar, mereka langsung minta pulang dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.
Akhirnya…ya beginilah keadaan sekarang ini. Mungkin khadimat itu jodoh-jodohan juga ya. Kalo jodoh ya awet, kalo nggak jodoh ya nggak bakalan awet. Positifnya, aku sudah lama membiasakan diri untuk tidak tergantung sama khadimat. Bagi teman-teman yang khadimatnya awet, itu merupakan rejeki yang di jaman sekarang ini susah didapat. Syukuri itu. Mereka juga amanah yang harus dijaga. Bagi yang khadimatnya nggak awet, syukuri juga karena itu membuat kalian belajar untuk mandiri. Make this life so simple just like that….
***
Dian Widyaningtyas
Tender, Love, and Care
Kelud yang merajuk dan abu yang menusuk
Jelang adzan sholat Jumat, Pebruary 14th, 2014
kakek dan nenek, ayah dan ibu saya… belum pernah pake khadimat. mungkin karena nggak mampu ngasih gaji ๐
Klo alasan mbah kakung mungkin karena kasian klo mbah putri yg harus mengasuh ke 10 anak2nya masih dibebani pula dengan mengurusi rumah. Klo alasan ayah karena beliau maunya ibu fokus ngurusi anak2 saja. Jadi masinh2 pasti punya alasan ๐
Masalah utama ibu bekerja, keberadaan ART ๐
Ternyata kita sama Di, udah puluhan kali ganti art, bahkan sampai tak cukup jari tangan dan kaki untuk menghitungnya. Awal2nya stress, merasa bersalah, instropeksi… kenapa ya aku ini kok mereka pada gak betah. Tapi setelah kutelusuri, ternyata ya memang begitulah tren art jaman sekarang, dan ternyata hampir semua mengalaminya ๐
Dan setuju banget, jangan tergantung sama art. Bahkan skrg pun aku lebih memilih menitipkan anak2 di daycare drpd tiba2 kalang kabut ketika art pamit pulang.