Siang itu Surti baru pulang dari pasar ketika dia berpapasan dengan serombongan anak-anak yang berlari-lari kegirangan sambil mengacung-acungkan aneka jajanan kemasan. “Kang Tarjo pulang….Kang Tarjo pulang…Kang Tarjo pulang….!!! begitu teriak mereka berulang-ulang. Entah mengapa hati Surti ikut berbunga-bunga. Selama ini dia menunggu Tarjo dalam diam.
“Tunggu aku ya, Sur” kata Tarjo disuatu senja yang tiba-tiba terasa muram di mata Surti
“Tapi Kang Tarjo ora lali karo aku kan?” rajuk Surti
“Ora lah Sur. Bagaimana aku bisa melupakan kembang desa seperti dirimu?”
Surti tersenyum-senyum sendiri mengingat percakapan mereka tiga tahun silam. Dia mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah dan menceritakan kedatangan Tarjo kepada Si Mbok.
——————————————————————-
Tarjo bertahan di Langgar kecil di dekat rumahnya seusai sholat Ashar. Dia mengamati bangunan Langgar itu. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sejak kepergiannya tiga tahun silam. Bahkan yang ikut sholat berjamaah masih sesepi dulu. Masih bisa dihitung dengan jari. Dulu dia tidak begitu peduli dengan semuanya itu.
“Aku harus memulainya dari tempat ini” gumam Tarjo menyemangati dirinya sendiri. Lalu dia memanggil anak-anak yang sedang bermain di halaman Langgar. Sore itu pertama kalinya Tarjo mengajari anak-anak kampung mengaji.
Kegiatan itu berlanjut sampai seusai sholat Magrib. Kian hari anak-anak yang mengaji semakin banyak saja. Yang ikut sholat berjamaah juga semakin banyak. Tidak terkecuali kaum perempuannya. Langgar kecil itu terasa semakin sesak saja tiap datang waktu sholat. Tapi Tarjo tidak pernah melihat sosok perempuan yang dulu begitu dekat di hatinya diantara mereka . Kesibukan mengajari anak-anak mengaji yang membuat keinginannya untuk menemui perempuan itu di rumahnya selalu tertunda. Dan menemui perempuan itu bukan lagi menjadi hal penting bagi Tarjo.
—————————————————
“Sur, ojo lali besok malam tayuban di rumah Pak Karto tetangga desa ya”
“Iya, Mbok. Surti sudah siapkan semuanya”
“Si Mbok ora isa ngeterke yo, Nduk. Biar Supri yang ngantar”
Surti hanya diam. Pikirannya menjelajah ke tempat lain. Memikirkan seseorang yang sudah beberapa hari ini ditunggunya dengan hati tidak menentu. Kalau saja dia tidak ingat adat, sudah dari kemarin-kemarin dia datangi lelaki yang sudah membuat tidurnya tidak nyenyak beberapa hari ini.
“Ana apa tho, Nduk? Awakmu mikir Kang Tarjomu yo?
Surti tertunduk malu. Pipinya bersemu merah. Hanya kepada Si Mbok lah Surti selama ini menceritakan perasaannya kepada Tarjo. Menceritakan kisahnya dengan lelaki itu, juga janji diantara mereka sebelum kepergian Tarjo ke kota untuk menuntut ilmu.
“Iya, Mbok” jawabnya lirih. “Opo Kang Tarjo wes lali karo aku yo, Mbok? tanya Surti lirih seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Nduk, kalau Si Mbok lihat Tarjo yang sekarang berbeda dengan Tarjo yang dulu”
“Si Mbok beberapa kali ketemu dia sedang ngajari anak-anak kampung ngaji di Langgar dekat rumahnya”
“Kang Tarjomu sudah berubah, Nduk”
“Sekarang Tarjo dadi wong alim”
“Awakmu kudu mikir, sapa sira sapa ingsun. Tarjo itu siapa, kamu itu siapa” Kata Si Mbok panjang lebar.
“Tarjo kuwi anake ndoro, bocahe bagus, pendidikane dhuwur, tur alim”
“Lha awakmu kuwi anake wong ora duwe, sekolah SMA wae ora tamat, trus awakmu kie ledhek”
“Coba dipikir, opo yo pantes wong alim nyanding karo ledhek?”
Hati Surti bagai teriris. Kata-kata Si Mbok seolah menyadarkannya dari mimpi indah. Rasanya bagai terjerembab ke dasar jurang yang sangat dalam. Surti terpaksa menerima tawaran untuk menjadi penari di group tayub karena himpitan ekonomi sejak Pakne meninggal. Itu terjadi setelah kepergian Tarjo ke kota. Tiba-tiba dia menyesali suratan nasibnya. Dia menyesali kenapa dia jadi penari tayub.
“Nduk, Supri lebih pantas untukmu”
“Dia orangnya juga baik, perhatian sama keluarga kita”
“Sebenarnya Supri sudah beberapa kali nembung sama Si Mbok”
“Cobalah mencintainya” lanjut Si Mbok
“Tapi Kang Supri sudah kuanggap seperti kakangku dewe, Mbok” jawab Surti
“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun” kata Si Mbok sambil menatap teduh ke arah Surti
————————————————————
Surti bergegas berteduh di teras Langgar ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya sore itu. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak kampung yang sedang mengaji ditingkahi deras suara hujan. Sesekali terdengar suara lelaki dewasa menuntun ngaji anak-anak. Suara itu begitu akrab ditelinga Surti…..sekian tahun yang lalu. Itu suara Tarjo. Suara yang dulu mampu menentramkan hatinya. Ragu-ragu Surti mencari arah sumber suara. Dari luar jendela, dari tempatnya duduk bersimpuh, dilihatnya Tarjo diantara kerumunan anak-anak kampung. Wajahnya bersih, rambutnya rapi, memakai kopyah hitam dan koko putih. Hampir saja Surti tidak mengenali sosok lelaki dibalik jendela itu.
“Apa yang membuatmu berubah, Kang?” gumam Surti sendiri
Dulu Tarjo seperti kebanyakan pemuda di kampung itu, penampilannya agak urakan. Hanya saja dia punya keberanian lebih untuk mendekatinya. Mungkin karena dia anak orang terpandang, makanya Tarjo punya nyali untuk mendekati Surti yang jadi kembang desa di kampungnya. Beberapa tahun mereka menjalani kisah sembunyi sebelum akhirnya Tarjo lulus SMA dan harus melanjutkan kuliah ke kota. Waktu itu Surti baru masuk SMA. kemudian Surti harus rela meninggalkan bangku sekolahnya setelah Bapaknya pergi untuk selama-lamanya. Tiba-tiba semua kenangan itu berkelebat dalam pikiran Surti.
Kembali Surti melemparkan pandangan ke arah Tarjo yang masih sibuk dengan murid-murid ngajinya. Tarjo sama sekali tidak menyadari kehadiran Surti di luar sana. Ingin sekali Surti menghambur ke arah Tarjo untuk meluapkan rasa kangennya, menceritakan ribuan kisah saat mereka harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. Tapi ada kesedihan yang tiba-tiba merayapi hatinya ketika dia menyadari siapa dirinya sekarang.
“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun” kata-kata Si Mbok kembali terngiang-ngiang di telinganya. Surti memutuskan menerobos hujan yang masih turun dengan derasnya. Tak dia pedulikan lagi tubuhnya yang menjadi basah dan menggigil kedinginan. Dia berharap hujan deras itu bisa muluruhkan rasa galau di hatinya. Dia berharap hujan deras itu mampu menghapus sosok Tarjo dari pikirannya.
———————————————————————————-
Malam ini Tarjo harus menggantikan bapaknya menghadiri undangan Pak Karto. Sudah lama dia tidak silahturahmi ke teman akrab bapaknya itu. Paklik Karto, begitu Tarjo biasa memanggil teman bisnis bapaknya. Musik tayub begitu mengganggu telinga Tarjo. Kalo saja ini bukan undangan dari sahabat Bapaknya, ingin rasanya Tarjo segera meninggalkan tempat itu. Seorang ledhek memasuki panggung sambil melenggak lenggok gemulai mengikuti alunan musik tayub. Semua mata undangan tertuju ke arah wanita itu. Gemulai gerakan tubuhnya dan cantik paras wajahnya seolah magnet yang luar biasa kuat yang mampu menarik perhatian semua lelaki yang hadir disitu. Tidak terkecuali Tarjo yang tiba-tiba merasa mengenali sosok penari ledhek itu. Tarjo terkesiap ketika menyadari bahwa penari itu tidak lain adalah Surti, gadis pujaannya dulu. Sejurus kemudian Tarjo memalingkan muka dan beranjak pergi dari tempat itu. Tarjo tidak bisa menutupi rasa kagetnya melihat Surti menjadi penari ledhek. Sungguh dia tidak pernah menyangka sebelumnya, Surtinya yang dulu lugu sekarang menjadi penari penghibur.
“Apa salahnya seorang penari ledhek, Tarjo?” suara lain dari dalam dirinya
Ah…Tarjo tidak sanggup membayangkan gurat kecewa Ibunya jika dia bermenantukan penari ledhek. Ibunya seorang priyayi yang sangat menjaga adat sopan santun. Tarjo tidak bisa membayangkan rasa malu bapaknya jika punya menantu penari penghibur. Bapaknya adalah sosok terpandang yang sangat dihormati warga sekitar. Tarjo tidak sanggup membayangkan semua itu…
Surti yang sudah memperhatikan Tarjo sejak dari balik panggung begitu terpukul melihat kekagetan Tarjo. Ada rasa terhina, ada rasa terhempas, ada rasa nelangsa, semua bercampur baur dihatinya. Andai saat ini dia tidak sedang menjalankan tugasnya sebagai penari ledhek, ingin sekali dia berlari meninggalkan panggung, berlari dan terus berlari meninggalkan semua impiannya. Sekuat tenaga dia menahan gerimis yang meronta-ronta ingin terbebas dari kungkungan kelopak matanya. Malam itu gerakan Surti makin menghebat, seolah dia menyatu dengan iringan musik tayub yang berkumandang dari samping panggung.
“Eling, Nduk. Sapa sira sapa ingsun” kata-kata Si Mbok terngiang-ngiang lagi ditelinganya.
“Aku tidak akan menagih janjimu, Kang Tarjo” bisik hati Surti
Dengan gemulai Surti berjalan ke arah tamu undangan. Ada Kang Supri di deretan paling depan yang selalu setia menemaninya tanggapan. Surti mengalungkan sampurnya ke leher Kang Supri dan menarik lelaki itu dengan lembut ke atas panggung. Malam ini Surti ingin menari dengan Kang Supri sampai acara usai.
Dian Widyaningtyas
Tender Loving Care
Jelang pulang kantor, July 25th, 2013
#TTR